
JAKARTA - Fenomena “mati suri” kerap menjadi perbincangan di masyarakat Indonesia.
Kondisi ini terjadi ketika seseorang dinyatakan mati secara klinis, tetapi kemudian dapat kembali hidup melalui intervensi medis. Secara umum, kematian terjadi saat jantung berhenti berdetak.
Namun, dalam beberapa kasus, bantuan pertolongan pertama dapat menghidupkan pasien. Pertanyaannya, berapa lama seseorang bisa berada dalam kondisi mati suri sebelum organ vital mengalami kerusakan permanen, terutama otak?
Baca Juga
Kematian klinis biasanya ditandai dengan berhentinya detak jantung. Ketika itu terjadi, seluruh sel tubuh, terutama sel otak, tidak lagi menerima pasokan darah kaya oksigen. Tanpa aliran oksigen, sel-sel otak mulai rusak setelah lima menit, proses ini bersifat ireversibel.
“Sering kali ketika dokter mengatakan 'mati secara klinis,' yang dimaksud adalah kematian jantung, yaitu jantung tidak lagi berdetak,” ujar Dr. Daniel Mark Rolston, dokter gawat darurat di Northwell Health, New York.
Selain mati jantung, ada jenis kematian lain yaitu mati otak, ketika otak mengalami kerusakan parah sehingga tidak mampu lagi mengendalikan fungsi vital tubuh seperti bernapas dan detak jantung. Dalam kondisi ini, meski jantung dapat dipacu berdetak dengan alat medis, kesadaran dan kontrol tubuh tidak bisa pulih.
Peran Resusitasi Jantung Paru (RJP)
Salah satu metode untuk menangani kematian jantung adalah Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau CPR. Teknik ini bertujuan mempertahankan aliran darah dan oksigen ke seluruh tubuh, terutama otak, agar sel tetap hidup meski jantung berhenti. Dengan menekan dada secara manual dan memberikan napas buatan, penolong pertama dapat menjaga oksigenasi sel sementara.
RJP sering kali tidak langsung menghidupkan jantung, tetapi memberi waktu agar metode lain, seperti defibrilasi, dapat digunakan.
Defibrilasi adalah prosedur pengaliran arus listrik ke jantung untuk meniru sinyal listrik alami yang memicu kontraksi jantung. Dalam beberapa kasus, teknik ini dapat mengatur ulang detak jantung dan menghidupkan pasien.
Keberhasilan resusitasi sangat bergantung pada kondisi awal pasien, lokasi kejadian, dan kecepatan tindakan. Menurut Palang Merah Amerika, tingkat kelangsungan hidup pasien yang mengalami RJP di rumah sakit sekitar 20%, sedangkan jika terjadi di luar rumah sakit, angka ini turun menjadi 10% karena keterbatasan personel terlatih dan waktu respons lebih lambat.
Hipotermia dan Kasus Luar Biasa
Walaupun jarang, terdapat pengecualian saat henti jantung bersamaan dengan hipotermia, yaitu kondisi suhu inti tubuh turun di bawah 35°C. Suhu dingin dapat memperlambat metabolisme tubuh dan menurunkan kebutuhan oksigen, sehingga sel-sel otak tetap terlindungi lebih lama.
Kasus luar biasa tercatat pada seorang pria berusia 31 tahun yang berhasil dihidupkan kembali setelah 8 jam 42 menit mengalami henti jantung akibat hipotermia.
Tim medis mempertahankan CPR selama lebih dari tiga setengah jam, kemudian pasien dibawa ke rumah sakit dan diberi dukungan sistem kehidupan untuk menjaga aliran darah. Setelah dihangatkan, pasien berhasil diresusitasi sepenuhnya tanpa kerusakan neurologis.
Kasus ini menunjukkan bahwa batas waktu mati klinis bukanlah mutlak. Faktor penting adalah respon cepat, tindakan CPR yang tepat, dan kondisi tubuh, seperti hipotermia, yang dapat meningkatkan peluang hidup kembali.
Batas Kemungkinan Pemulihan
Meskipun mati suri dengan pemulihan total sangat jarang, fakta ini membuka pemahaman baru mengenai batas kehidupan dan kematian. Berbeda dengan mati jantung, mati otak hampir selalu bersifat permanen.
Diagnosis mati otak memerlukan serangkaian pemeriksaan, termasuk pencitraan otak (MRI), tes refleks neurologis, dan pengamatan kemampuan pasien bernapas sendiri. Tujuannya adalah memastikan tidak ada kondisi lain yang meniru gejala mati otak sebelum menetapkan bahwa kerusakan otak memang permanen.
Pentingnya Edukasi CPR dan Pertolongan Pertama
Proses resusitasi yang efektif memerlukan koordinasi antara penolong pertama dan tim medis. Setiap menit keterlambatan dalam CPR mengurangi peluang hidup kembali.
Oleh karena itu, edukasi masyarakat mengenai CPR dan penggunaan defibrilator otomatis eksternal (AED) sangat penting. Pengetahuan ini tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga meminimalkan risiko kerusakan otak akibat kekurangan oksigen.
Teknologi medis modern juga memungkinkan pasien dalam kondisi kritis tetap terpantau dan diberi dukungan kehidupan selama proses resusitasi.
Penggunaan ventilator, obat-obatan untuk menstabilkan detak jantung, dan sistem pemantauan darah serta oksigen menjadi langkah penting mempertahankan organ vital sambil menunggu jantung berdetak kembali.
Kasus mati suri yang berhasil pulih menunjukkan kemampuan tubuh manusia yang luar biasa bila dibantu dengan prosedur medis tepat.
Meskipun jarang, kondisi ini membuktikan bahwa respon cepat, keterampilan CPR, dan fasilitas medis memadai adalah kunci menyelamatkan nyawa. Bagi sebagian orang, pengalaman mati suri menjadi bukti nyata bahwa batas antara hidup dan mati tidak selalu hitam-putih.
Dengan pemahaman dan kesiapan tersebut, peluang hidup kembali setelah mati klinis dapat dimaksimalkan, meski tetap ada batas biologis yang tidak bisa dilampaui.
Hal ini juga menekankan pentingnya kesadaran masyarakat terhadap pertolongan pertama dan pendidikan medis dasar sebagai langkah pencegahan kritis dalam keadaan darurat.

Sindi
navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Pet123 Indonesia: Belanja Online Kebutuhan Hewan Aman dan Terpercaya
- Rabu, 08 Oktober 2025
Berita Lainnya
Pet123 Indonesia: Belanja Online Kebutuhan Hewan Aman dan Terpercaya
- Rabu, 08 Oktober 2025
Terpopuler
1.
2.
Spesifikasi Lengkap Samsung Galaxy Tab S11 Series Tablet Premium
- 08 Oktober 2025
3.
Ramalan 4 Zodiak: Keberuntungan dan Keberlimpahan 8 Oktober 2025
- 08 Oktober 2025
4.
Prediksi Keuangan Shio 8 Oktober 2025, Stabil dan Menguntungkan
- 08 Oktober 2025
5.
3 Destinasi Wisata Hemat di Malang untuk Liburan Seru Keluarga
- 08 Oktober 2025